Ritual Ibadah tertentu di bulan Rajab yg bukan petunjuk Rasul
Oleh Ustad Abu Abdillah
Penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah
الحمد لله حمداً كثيراً طيباً مباركاً
فيه وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له شهادة أرجو بها النجاة يوم نلاقيه
وأشهد أن محمداً عبده ورسوله أرسله بالهدى ودين الحق فبلغ الرسالة وأدى الأمانة
ونصح الأمة فصلوات الله وسلامه عليه وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم
الدين. أما بعد.
Sesungguhnya
Allah ‘azza wajalla telah berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ
هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit.
Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi
ibadat) haji.” [Al-Baqarah: 189].
Dan
Allah ‘azza wajalla juga berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ
اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ
وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا
فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah
adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit
dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus,
maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” [At-Taubah: 36]
Sesungguhnya
bulan-bulan Hilaliyah ini merupakan bulan-bulan yang Allah tetapkan
untuk hamba-hamba-Nya sebagai waktu-waktu bagi manusia dalam bermu’amalah dan
beribadah.
قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
وَالْحَجِّ
Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” [Al-Baqarah:
189].
Di
antara bulan-bulan tersebut adalah empat bulan yang diharamkan, yaitu
Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram yang merupakan tiga bulan yang berurutan,
dan Rajab secara sendiri yang terletak antara bulan Jumadal Tsaniyah dan
Sya’ban. Dan sebentar lagi, bulan ini (yakni Rajab, pent) akan tiba
mendatangi kalian. Bulan ini merupakan salah satu dari empat bulan-bulan haram
yang memiliki keutamaan. Sudah semestinya pada bulan tersebut untuk menjauhi
berbagai bentuk maksiat sebagaimana pada tiga bulan yang lain, namun tidak pernah
disebutkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau
mengkhususkan pada bulan itu dengan menambah ibadah shalat maupun puasa. Semua
hadits yang menyebutkan tentang permasalahan ini adalah hadits-hadits yang
lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Sebagian
orang beribadah kepada Allah ‘azza wajalla dengan berpuasa pada tiga
bulan: Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan, namun tidak dibenarkan untuk mengkhususkan
puasa pada bulan Rajab. Adapun Sya’ban, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
memperbanyak puasa pada bulan tersebut sampai pernah beliau berpuasa sebulan
penuh ataupun mayoritasnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ummul Mu’minin
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.[1]
Wahai
saudara-saudaraku,
Sesungguhnya
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam, dan sejelek-jelek perkara adalah suatu perkara yang diada-adakan
dalam agama ini. Sesungguhnya seluruh amalan yang dengannya engkau beribadah
kepada Allah, namun amalan tersebut tidak pernah disyari’atkan di dalam
Kitabullah maupun sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka
sesungguhnya itu adalah kebid’ahan yang tidaklah menambah bagi engkau kecuali
semakin jauh dari Allah ‘azza wajalla. Karena setiap orang yang
berbuat bid’ah, berarti kebid’ahannya itu akan memberikan makna bahwa agama ini
belum sempurna semasa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
padahal Allah ta’ala telah berfirman:
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الإِسْلامَ دِيناً
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam
itu jadi agama bagimu.”[Al-Maidah: 3]
Allah
berfirman yang demikian itu dalam sebuah ayat yang Dia turunkan kepada
Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari Jum’at, di
hari ‘Arafah ketika haji wada’. Sehingga agama ini telah sempurna, tidak butuh
kepada penyempurnaan, dan tidak pula butuh kepada sesuatu yang diada-adakan.
Setiap manusia yang beribadah kepada Allah dengan menjalankan suatu amalan yang
tidak disyari’atkan di dalam Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, maka amalannya
tersebut tertolak dan dia tersesat disebabkan amalannya itu. Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda dalam rangka memberikan peringatan kepada
umatnya:
إياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة
بدعة وكل بدعة ضلالة
“Hati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru
yang diada-adakan dalam agama ini, karena sesungguhnya setiap perkara baru yang
diada-adakan dalam agama ini adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Dan
beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan
yang bukan termasuk urusan (tuntunan syari’at) kami, maka amalannya tersebut
tertolak.” [HR.
Muslim]
Ambillah
prinsip ini wahai saudaraku muslim, ambillah petunjuk ini, bahwa setiap amalan
yang dengannya seseorang beribadah (kepada Allah), baik itu amalan hati seperti
aqidah/keyakinan, atau amalan lisan seperti dzikir-dzikir bid’ah, atau amalan
anggota badan seperti amaliyah bid’ah, jika tidak memiliki saksi (berupa
dalil/hujjah, pent) dari Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wasallam, maka tidaklah didapatkan kecuali kerugian di dunia dan
akhirat.
أسأل الله تعالى أن يبصرني وإياكم
بدينه وأن يرزقنا علماً نافعاً وعملاً صالحاً يُقربنا إليه وأعوذ به من الجهل
والبدع
Saya memohon kepada Allah ta’ala agar Dia
memberikan bashirah (ilmu pengetahuan) kepadaku dan kepada kalian semua tentang
agama-Nya, dan agar Dia memberikan rizki kepada kita semua berupa ilmu yang
bermanfaat dan amalan shalih yang bisa mendekatkan diri kita kepada-Nya. Dan saya
memohon perlindungan kepada-Nya dari kebodohan dan kebid’ahan.
اللهم إنا نسألك يقيناً لا شك معه
وإيماناً لا كفر معه واتباع لا ابتداع معه وإخلاصاً لا شرك معه يا ذا الجلال
والإكرام يا حي يا قيوم
Ya Allah, kami memohon kepada Engkau keyakinan
yang tidak ada keraguan bersamanya, keimanan yang tidak ada unsur kekufuran
bersamanya, sikap ittiba’ (mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam)
yang tidak ada sikap ibtida’ (mengada-adakan perkara baru dalam agama)
bersamanya, ikhlas yang tidak ada kesyirikan bersamanya, wahai Dzat yang
memiliki keagungan dan kemuliaan, wahai Dzat yang maha hidup lagi terus-menerus
dalam mengurus makhluk-Nya.
Wahai
saudara-saudara kaum muslimin, sesungguhnya Allah ta’ala berfirman dalam
kitab-Nya yang agung:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ
يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ
وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya
bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk
Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [Al-Ahzab: 56]
سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ
رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya
Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”[Al-Baqarah:
285]
اللهم صلِّ وسلم على عبدك ورسولك
اللهم صلِّ وسلم على عبدك ورسولك محمد اللهم صلِّ وسلم على عبدك ورسولك محمد اللهم
ارزقنا محبته واتباعه ظاهراً وباطنا اللهم احشرنا في زمرته اللهم اسقنا من حوضه
اللهم أدخلنا في شفاعته اللهم اجمعنا به وبمن أنعمت عليهم في جنات النعيم إنك على
كل شيء قدير
Ya Allah, curahkanlah shalawat dan salam
kepada hamba dan rasul Engkau, Ya Allah, curahkanlah shalawat dan salam kepada
hamba dan rasul Engkau Muhammad, Ya Allah, curahkanlah shalawat dan salam
kepada hamba dan rasul Engkau Muhammad. Ya Allah, limpahkanlah rizki kepada
kami untuk bisa mencintai beliau, mengikuti sunnah beliau, zhahir maupun batin.
Ya Allah, kumpulkanlah kami dalam barisan beliau, ya Allah, berilah kami
kesempatan untuk minum dari telaga beliau (nanti pada hari Qiyamat, pent), ya
Allah, masukkanlah kami ke dalam jajaran orang-orang yang mendapatkan syafa’at
beliau. Ya Allah, kumpulkanlah kami bersama beliau dan bersama orang-orang yang
Engkau beri nikmat di surga yang penuh kenikmatan. Sesungguhnya Engkau maha
mampu atas segala sesuatu.
اللهم ارض عن خلفائه الراشدين وعن
الصحابة أجمعين وعن التابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين اللهم ارض عنا كما رضيت
عنهم اللهم أصلح أحوالنا كما أصلحت أحوالهم
Ya Allah, ridhailah para Al-Khulafa’
Ar-Rasyidun, para shahabat, dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik
sampai datangnya hari pembalasan. Ya Allah, ridhailah kami sebagaimana Engkau
telah meridhai mereka. Ya Allah, perbaikilah keadaan kami sebagaimana Engkau
telah memperbaiki keadaan mereka.
اللهم اجمع قلوبنا على الحق يا رب
العالمين اللهم آلف بين قلوبنا اللهم اهدنا سبل السلام اللهم ألق بيننا المودة
والمحبة يا رب العالمين اللهم أبعد عنا اختلاف القلوب والعداوة والبغضاء إنك على
كل شيء قدير.
Ya Allah, kumpulkanlah hati-hati kami di atas
al-haq, wahai Rabb semesta alam. Ya Allah, satukanlah hati hati kami, ya Allah,
berilah kami petunjuk kepada jalan keselamatan, ya Allah, tanamkan kecintaan
dan kasih saying di antara kami, wahai Rabb semesta alam. Ya Allah, jauhkanlah
dari kami segala bentuk perselisihan hati, permusuhan, dan kebencian,
sesungguhnya Engkau maha mampu atas segala sesuatu.
Wahai
hamba-hamba Allah,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ
وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ
وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku
adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” [An-Nahl: 90]
Penjelasan Fadhilatul ‘Allamah Dr.
Shalih bin Sa’d As Suhaimi hafizhahullah
Dan
termasuk kebid’ahan yang tersebar pada masa ini adalah apa yang diyakini oleh
orang-orang (kaum muslimin, pent) berupa pengkhususan bulan Rajab untuk
melakukan ibadah tertentu seperti puasa atau menentukan hari tertentu (seperti
malam 27 Rajab, pent) untuk menyelenggarakan ritual perayaan dan
ibadah-ibadah tertentu dengan anggapan bahwa pada bulan tersebut adalah malam
terjadinya peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
Penentuan semacam ini tidak ada dalilnya dari
Kitabullah ta’ala maupun dari sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Tidak
ragu lagi bahwasanya peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah benar adanya, dan
beriman terhadapnya apa hukumnya?! Wajib, dan seorang muslim tidak ragu dalam
perkara ini.
Bahkan
beriman dengan (Isra’ Mi’raj) merupakan perkara yang sudah diwajibkan oleh
Allah tabaraka wata’ala di dalam kitab-Nya:
سُبْحَانَ الَذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ
لَيْلاً مِّنَ المَسْجِدِ الحَرَامِ إلَى المَسْجِدِ الأَقْصَا الَذِي بَارَكْنَا
حَوْلَهُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan
hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang
telah Kami berkahi sekelilingnya.” [Al Isra': 1]
Dan
beliau telah diisra’kan dengan ruh dan jasadnya, tidak dengan ruhnya
saja, dan bukan pula kejadian dalam mimpi saja, bahkan beliau diisra’kan
dengan ruh dan jasadnya shallallahu ‘alaihi wasallam -hingga beliau
sampai di sidratul muntaha- shalawatullahi wasalamuhu ‘alaihi. Ini
merupakan kedudukan yang tidak dicapai oleh seorang nabi pun sebelumnya, dan
ini merupakan kekhususan yang Allah berikan kepadanya shalawatullahi
wasalamuhu ‘alaihi. Dan walaupun Isra’ dan Mi’raj adalah peristiwa yang tsabit
(tetap dalam syari’at ini) dan beriman dengannya adalah wajib dan telah
diwajibkan pula ketika itu shalat lima waktu, akan tetapi kita tidak memiliki
dalil yang pasti bahwa itu terjadi di bulan Rajab.
Kemudian di sana ada perkara lainnya, yaitu
bahwasanya walaupun kita mendapatkan dalil bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu
terjadi pada bulan Rajab, apakah kita disyaria’tkan untuk melakukan ritual
ibadah tertentu pada bulan tersebut?
Jawabannya
adalah: tidak, karena segala bentuk ibadah itu sifatnya adalah tauqifiyyah
(tetap dan paten sesuai dengan tuntunan Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wasallam) yang harus diketahui (dalil dan landasannya, pent) dari
syari’at ini. Dan setelah mengalami peristiwa Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam hidup selama sekitar 13 tahun, dan beliau tidak pernah
mengadakan acara-acara tertentu untuk memperingati peristiwa tersebut.
Apakah kita yang lebih bersemangat mengikuti
al-haq ataukah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam?
Tentunya beliau, ini tentunya tidak ragu lagi. Sesungguhnya
perbuatan mengada-adakan ibadah tertentu untuk memperingati Isra’ dan Mi’raj
pada tanggal 12 atau 27 Rajab itu terjadi pada abad ke-4 Hijriyyah, setelah
banyak bermunculannya sikap taqlid kepada orang-orang Yahudi dan Nashara dalam
memperingati hari-hari ‘ied (hari raya-hari raya), seperti
peringatan-peringatan hari-hari kelahiran atau yang lainnya dari bentuk
peringatan-peringatan (hari raya) jahiliyyah yang Allah tidak menurunkan satu
hujjahpun, maka itu semua adalah peringatan-peringatan jahiliyyah dan bid’ah
yang diada-adakan.
Hari-hari
‘ied dalam Islam, ada berapa hari ‘ied kita? Aku katakan: hari ’ied Islam ada
tiga, apa saja itu? ‘Iedul Fithri, ‘Iedul Adh-ha, dan ‘Iedul Usbu’ yang
itu merupakan hari Jum’at. Dan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam telah
menamakan itu semua dengan ‘ied dan tidak ada ‘ied yang keempat dari hari-hari
‘ied tersebut. Tidak ada ‘ied (hari ulang tahun) kelahiran, ataupun i’ed (hari
raya) nasional, ‘ied perayaan Isra’ dan Mi’raj, ………..
Itu
semua adalah ‘ied (perayaan/hari raya) jahiliyyah, semuanya adalah ‘ied
jahiliyyah, tidak diketahu (dikenal) kecuali setelah wafatnya Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, kecuali setelah empat abad kemudian.
Kita
mengajukan pertanyaan di sini:
Siapakah yang berada di atas al-haq?
Mereka
generasi pertama yang hidup pada masa-masa generasi terbaik dan diutamakan?
Ataukah Al-Fathimiyyun Al-’Ubaidiyyun yang menisbahkan kepada Fathimah radhiyyallahu
‘anha secara palsu dan dusta setelah empat abad (dari wafatnya Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, pent)?! Siapa yang berada di atas al-haq?! Siapa yang
lebih benar jalannya?!
Abu
Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
lebih daripada kecintaan mereka kepada beliau. Mereka (para shahabat tersebut)
datang membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ruh dan
jiwa-jiwa mereka, mereka menghadapi panah-panah dan tombak-tombak dengan
dada-dada mereka yang suci dalam rangka menebus dirinya untuk (membela)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Walaupun
demikian, mereka tidak pernah mengadakan peringatan-peringatan semacam ini.
Apakah kemudian kita mengatakan bahwa mereka tidak mencintai Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam? Maha sempurna Allah, seorang muslim tidak akan mengatakan
seprti itu, bahkan mereka (para shahabat) adalah orang-orang yang paling
mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Beriman
terhadap Isra’ dan Mi’raj adalah wajib, akan tetapi anggapan bahwa itu terjadi
pada malam 27 Rajab adalah tidak benar bahkan itu merupakan kedustaan.
Riwayat-riwayat
dalam sejarah menyebutkan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada bulan Rajab, ada yang
menyebutkan pada bulan Sya’ban, ada yang menyebutkan pula pada bulan Ramadhan,
ada yang menyebutkan pada bulan Syawwal, dan ada pula yang menyebutkan pada
bulan Dzulhijjah, Wallahu A’lam.
Tidak
terlalu penting bagi kita (mengetahui) tarikh dalam masalah ini, dan yang
(lebih) penting bagi kita adalah hakikat keimanan terhadap benarnya peristiwa
Isra’ dan Mi’raj tersebut.
Demikian
pula mengkhususkan bulan Rajab dengan puasa tertentu adalah tidak benar, tidak
benar, tidak ada pada bulan Rajab itu puasa tertentu yang dikhususkan[2], dan barangsiapa
yang mengkhususkan puasa pada bulan Rajab, maka tidak ragu lagi bahwa mereka
telah melakukan salah satu bentuk kebid’ahan di antara kebid’ahan-kebid’ahan
yang diada-adakan manusia. Tidak ada dalil shahih yang tetap dalam pengkhususan
bulan Rajab dengan puasa tertentu, shalat tertentu, maupun ritual ibadah
khusus, akan tetapi (bulan Rajab) adalah sebagaimana bulan-bulan yang lainnya.
Diterjemahkan secara ringkas dan
diberi catatan kaki oleh Abu Abdillah.
[2] Sebagaimana bulan yang lain, seperti
tanggal 9 dan 10 Muharram, 6 hari di bulan Syawwal, dan 9 Dzulhijjah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar